Send As SMS

Tuesday, October 17, 2006

Ruang Ini Telah Pindah

Ruang Budaya Situs Yaahowu telah pindah ke alamat baru di: NiasOnline.net sejak 7 Oktober 2006.

Thursday, September 28, 2006

Perbedaan Itu Sangat Sarat Dengan Hikmah-Hikmah Kehidupan

Wawancara Yaahowu Dengan Basyral Hamidy Harahap

Pengantar
: Perjumpaan dan perkenalan Situs Yaahowu dengan tamu kita kali ini sungguh sangat kebetulan. Ketika berlangsung Diskusi Online I bertema “Menyambut dan Menyikapi Kelahiran Provinsi Tapanuli”, 10 Juli – 17 Agustus 2006, Redaksi berselancar di internet untuk mencari bahan atau tulisan yang relevan dengan topik diskusi. Bertemulah sebuah artikel berjudul “Tribalisme: Sisi Gelap Otonomi Daerah” tulisan Basyral Hamidy Harahap, tulisan yang akhirnya turut meramaikan Diskusi Online I tersebut.

Isi tulisan tersebut memunculkan minat Redaksi untuk mengenal lebih dekat penulisnya. Melalui beberapa kali korespondensi lewat email, E. Halawa* dari Situs Yaahowu berhasil mengajak Bapak Harahap memaparkan buah pikirannya tentang budaya dan harmoni suku-suku di Sumatera Utara, masalah Ambon, dan berbagai hal lain yang terkait. Selamat mengikuti. (eh).

Yaahowu (Y): Bisakah Bapak ceritakan secara singkat sejarah lahirnya Provinsi Sumatera Utara (Sumut) yang terkenal sebagai Provinsi multietnis di Indonesia?

B. H. Harahap (H): Provinsi Sumatera Utara dibentuk berdasarkan Undang-Undang 1948 Nomor 10 yang ditetapkan di Yogyakarta pada tanggal 15 April 1948 yang membagi Sumatera menjadi 3 Provinsi, ialah: Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Tengah dan Provinsi Sumatera Selatan yang masing-masing mengurus rumah tangganya sendiri. Provinsi Sumatera Utara meliputi tiga keresidenan ialah: Aceh, Sumatera Timur dan Tapanuli. Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi diketuai oleh Gubernur yang tidak mempunyai hak suara. Badan Eksekutif Provinsi terdiri dari lima orang yang dipilih oleh dan dari anggota-anggota DPR Provinsi. Badan Eksekutif diketuai oleh Gubernur yang memiliki hak suara. Tugas-tugas mantan Gubernur Sumatera, Mr. Teuku Muhammad Hasan dijalankan oleh Komisariat yang dibentuk oleh Pemerintah Pusat yang kemudian menyerahkan tugas-tugas itu kepada Pemerintah tiga provinsi tersebut di atas. Mr. Teuku Muhammad Hasan ditetapkan sebagai Ketua Komisariat Pemerintah Pusat berkedudukan di Bukittinggi. Sedangkan Mr. S.M. Amin dilantik oleh Presiden Sukarno sebagai Gubernur Sumatera Utara di Kotaraja pada tanggal 19 Juni 1948.

Nias adalah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara, yang meliputi kepulauan di sekitarnya ialah Kepulauan Batu di selatan, Hinako di barat dan utara, dan pulau-pulau Lafau, Senau dsb. Penduduk Provinsi Sumatera Utara terdiri dari berbagai suku, ialah Melayu, Minangkabau Aceh, Jawa, Batak (Karo, Simalungun, Dairi, Toba dan Angkola-Mandailing), Nias, Pesisir, Cina, Arab, India, Pakistan. Penduduk berbilang suku itu menganut berbagai agama pula, ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan berbagai agama tradisional. Sekalipun penduduk Sumatera Utara terdiri dari berbagai suku dan agama, namun Provinsi Sumatera Utara termasuk paling tenteram di antara provinsi multi etnis dan agama lainnya.

Y: Kota Medan sebagai ibukota Provinsi Sumut merupakan kota multietnis yang hingga saat ini “aman-aman” saja, artinya keragaman etnis tidak menimbulkan masalah-masalah SARA. Kira-kira apa rahasianya?

H: Ketenteraman itu tercipta karena ada social equilibrium, keseimbangan dan keharmonisan hubungan antar etnis, di mana semua komponen masyarakat berfungsi secara harmonis, sehingga masing-masing puak menjaga dirinya dan diri orang lain agar tidak terjadi benturan sosial (social conflict). Selain itu, telah terbukti masyarakat Sumatera Utara yang multi etnis itu mengamalkan nilai-nilai luhur budayanya masing-masing yang mengajarkan bahwa ada saling ketergantungan di antara mereka. Hal lain, ialah bahwa masyarakat Sumatera Utara adalah masyarakat yang rasional, berpikir pragmatis, tidak emosional. Di samping itu seluruh golongan itu menyadari kekuatan dan kelemahannya. Sehingga sudah terbiasa bergaya hidup berhitung tentang untung rugi, tentang manfaat dan mudarat sesuatu tindakan atau perilakunya terhadap kepentingan manusia. Singkatnya, masyarakat Sumatera Utara adalah masyarakat yang menyadari hikmah motto bangsa Indonesia Bhinneka Tunggal Ika.

Y: Bolehkah kita berharap bahwa Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara akan tetap terhindar dari berbagai konflik SARA di masa depan? Bukankah masyarakat Ambon juga dulu sangat menikmati kerukunan, tetapi pada akhirnya menerima kenyataan tercabik-cabiknya keharmonisan dan kerukunan itu?

H: Ya, kita boleh berharap masyarakat Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara akan tetap terhindar dari berbagai konflik SARA sepanjang tidak ada kegiatan kelompok manapun yang berusaha merusak social equilibrium itu. Konflik di Ambon kata para ahli, mungkin terjadi karena masyarakat telah tercabut dari akar budayanya yang luhur, antara lain tergusurnya nilai-nilai luhur yang menjadi dasar keharmonisan masyarakat tradisional misalnya dalam hal tata pemerintahan desa tradisional yang diganti dengan tata pemerintahan desa sesuai undang-undang nasional, misalnya kelurahan yang dipimpin oleh Kepala Kelurahan yang terbuka bagi siapa saja termasuk yang bukan berasal dari masyarakat Ambon. Lurah menjadi lebih dominan daripada tokoh-tokoh adat yang arif, bijaksana, kharismatik yang mungkin juga memiliki pesona mistik dst. Jadi, masyarakat kehilangan pemimpin spiritual sejati yang selama ini menjaga kesejahteraan lahir dan batin mereka. Selain itu, kehadiran partai politik dan berbagai ormas juga mendorong masyarakat menjadi memiliki kawan dan lawan sekaligus. Sehingga tercipta titik-titik rawan yang menampung dan menyuburkan perbedaan pendapat yang pada saatnya dapat menjadi pemicu konflik. Hal itu ditambah lagi perbedaan dinamika yang nyata antara pendatang dengan penduduk setempat, yang dapat mendorong kecemburuan sosial yang berpotensi dapat menyentuh rambu-rambu SARA.

Y: Dalam salah satu tulisan Bapak yang juga ditayangkan di situs ini, Bapak menyinggung sebaran penduduk menurut agama di Tapanuli. Apa artinya angka-angka ini dalam jangka panjang dalam hubungannya dengan harmoni yang hingga saat ini merasuk ke dalam jiwa masyarakat Sumatera Utara?

H: Seingat saya tulisan tentang sebaran agama di Tapanuli itu terkait dengan analisis hasil pemilu 1955 yang menunjukkan bahwa Tapanuli Utara mayoritas berpenduduk Kristen sedangkan Tapanuli Selatan mayoritas berpenduduk Islam. Itu adalah salah satu sisi social equilibrium.

Y: Bagaimana pendapat Bapak mengenai Perda Nuansa Syariah yang dibeberapa daerah telah diterapkan? Apakah advis Bapak terhadap penyelenggara pemerintahan daerah khususnya Sumatera Utara ─terkait dengan hal ini?

H: Saya berpendapat bahwa Perda bernuansa Syariah adalah bagus. Perda itu berkaitan dengan peningkatan kualitas keberagamaan umat Islam yang mendidik umatnya agar menjadi seorang muslim yang sejati. Nasihat saya kepada para penyelenggara pemerintahan daerah, agar mensosialisasikan perda bernuansa Syariah itu kepada warga daerahnya secara keseluruhan agar mereka yang memeluk agama selain dari agama Islam memahami benar-benar bahwa perda itu adalah untuk menjadikan umat Islam di daerah yang bersangkutan benar-benar menjadi pemeluk Islam yang sesungguhnya sesuai tuntunan Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Sosialisasi itu misalnya menunjukkan contoh bagaimana Piagam Madina pada zaman Nabi Muhammad SAW menata masyarakat Madina yang temperamental dari berbagai suku, kaum dan agama, termasuk Jahudi hidup rukun dan damai dengan umat Islam.

Y: Kita beralih kepada gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli. Dalam tulisan Bapak yang disebutkan di depan, Bapak jelas-jelas mementang gagasan ini. Sedemikian burukkah gagasan itu?

H: Gerakan pembentukan Provinsi Tapanuli terutama dimotori oleh segelintir masyarakat Batak Toba. Beberapa kaum intelektual Batak Toba di Jakarta yang pernah saya minta pendapatnya tentang gagasan Provinsi Tapanuli, menyatakan bahwa gagasan itu tidak baik, antara lain karena dapat memicu keresahan sosial di Tapanuli. Sejarah telah mencatat, masyarakat Tapanuli Selatan, dalam hal ini Tapsel sekarang, Kota Padangsidimpuan dan Mandailing Natal, menolak pembentukan Batakraad pada akhir tahun 1930-an dan masyarakat Mandailing tetap menolak bersatu dengan orang Utara sekalipun nama dewan itu diganti menjadi Tapanoeliraad. Semangat itu tetap subur berkaitan dengan gagasan pembentukan Provinsi Tapanuli. Perbedaan agama dan mentalitas Utara Selatan merupakan bagian dari titik rawan SARA yang potensial. Hal ini juga dipaparkan oleh sosiolog Prof. Usman Pelly dalam artikelnya dalam Harian Analisa pada tahun yang lalu.

Y: Apakah Tapanuli Utara dan Tapanuli Selatan tidak bisa bersatu dalam sebuah Provinsi (Tapanuli) karena perbedaan agama? Atau adakah faktor lain yang lebih mendasar?

H: Kedua daerah itu sulit untuk bersatu dalam sebuah Provinsi Tapanuli. Alasannya antara lain sudah saya sebutkan pada jawaban Pertanyaan 6 di atas. Faktor lain adalah agresivitas Utara, semangat mencari tanah yang sangat kuat (land hunter), perbedaan tentang norma-norma kepatutan, sikap yang berbeda terhadap nilai konflik yang bagi orang Selatan konflik adalah aib tetapi pada masyarakat Utara konflik adalah bagian dari dinamika hidup. Mungkin hal itu juga dirasakan oleh masyarakat Nias.

Y: Dalam Diskusi Online yang baru saja kami selenggarakan di situs ini, ada beberapa opsi bagi Nias, antara lain: tetap menjadi bagian Provinsi Sumut, bergabung dengan Provinsi Tapanuli (atau dengan nama Tapanuli-Nias), membentuk Provinsi sendiri, atau membentuk Provinsi Kepulauan Pantai Barat. Adakah kemungkinan lain yang lebih berterima, misalnya: Provinsi Tapanuli Selatan-Nias? (Catatan: Menurut pengamatan pewawancara, hubungan masyarakat Nias dengan masyarakat Mandailing dari dulu selalu baik, walau masyarakat di kedua daerah itu menganut agama yang berbeda).

H: Pilihan pertama, agar tetap berada dalam lingkungan Provinsi Sumatera Utara. Pilihan kedua, membentuk Provinsi sendiri misalnya Provinsi Kepulauan Nias. Provinsi Tapanuli Selatan-Nias kurang tepat sekalipun ada kerukunan yang kuat dalam pergaulan dua masyarakat yang berbeda suku dan agama itu. Yang pernah saya ketahui ada gagasan Provinsi Tasmanlaba (Tapanuli Selatan, Mandailing Natal dan Labuhan Batu) yang dipandang dari segi sejarah, agama, tradisi dan mentalitas memiliki persamaan yang menonjol.

Y: Menurut Bapak, adakah hubungan budaya antara Batak dan Nias?

H: Menurut pendapat saya Nias adalah suatu cultural island, ialah suatu daerah yang memiliki ciri-ciri kebudayaan yang khas dan unik. Sedemikian rupa keunikan itu, sehingga tidak tampak warna Batak di dalam kebudayaan Nias. Banyak sekali perbedaan Nias dengan Batak, misalnya bahasa, tradisi, ungkapan tradisional, arsitektur, upacara adat, tatakrama hubungan muda-mudi, agama tradisional, dll., selain itu adalah orangnya sendiri yang berbeda secara fisik dengan orang Batak. Demikian juga sejarah jalur migrasi leluhur mereka yang berbeda.

Y: Beberapa penulis Batak mengklaim bahwa suku Nias itu adalah bagian dai suku Batak. Jadi, menurut mereka: ada Batak Toba, Batak Mandailing, Batak Karo, … dan Batak Nias. Pendapat Bapak?

H: Pendapat yang seperti itu adalah tampilan dari semangat habatahon (kebatakan) yang menggebu-gebu. Pendapat saya ada pada jawaban Pertanyaan 9.

Y: Apa kira-kira resep mujarab yang bisa mempertahankan keharmonisan antar etnis dan antar agama di Sumut khususnya, dan di Indonesia umumnya?

H: Menghargai perbedaan adalah salah satu cara memelihara keharmonisan masyarakat yang berbeda agama, tradisi, bahasa dll. Perbedaan itu sangat sarat dengan hikmah-hikmah kehidupan. Dengan menjiwai perbedaan, kita akan lebih mengenal diri kita dan diri orang lain. Resep lain ialah agar semua pihak menjalankan agama dan tradisinya sebaik-baiknya dengan mengamalkan nilai-nilai luhur yang menjadi dasar perilaku masing-masing. Secara nasional, perlu ada kurikulum yang memasukkan keanekaragam etnis, bahasa dan kebudayaan Indonesia yang jumlahnya lebih 300, dalam mata pelajaran sejak anak-anak Indonesia memasuki sekolah, dari TK sampai perguruan tinggi. Bahasa dan kebudayaan daerah harus diajarkan di sekolah-sekolah dan oleh orang tua dan masyarakat di dalam keluarga dan masyarakat. Orang tua seharusnya berbahasa daerah di dalam rumah tangga, agar anak-anak mereka dapat berujar dalam bahasa daerah mereka. Ini merupakan harta budaya yang tinggi nilainya. Sebagai contoh, baru-baru ini saya berkenalan dengan seorang bermarga Sembiring yang lahir dan besar di rantau. Sudah pasti bahwa dia adalah orang Karo. Tetapi saya menjadi kaget ketika dia bertanya apakah marga Harahap termasuk marga orang Karo?

Y: Apa pesan Bapak buat pengunjung Situs Yaahowu, khususnya pembaca wawancara ini?

H: Pesan saya, marilah memperkaya pengetahuan dan pengalaman kita tentang keragaman suku, agama dan kebudayaan bangsa kita. Dengan demikian, kita akan memperoleh bekal untuk bergaul dan hidup berdampingan secara serasi penuh kasih sayang sesama anak bangsa.

****
BIODATA
Basyral Hamidy Harahap, lahir di desa Sihepeng, Kecamatan Siabu, Mandailing Natal, 15 November 1940. *Pengajar tetap Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1964-1975, *Tenaga honorer pada Lembaga Pers dan Pendapat Umum di Jakarta 1964-1965, *Ketua Jurusan Ilmu Perpustakaan Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1965-1967, *Pengajar pada Latihan Jabatan Lembaga Administrasi Negara 1965-1967, *Bibliografer Ikatan Penerbit Indonesia Pusat 1967-1969, *Tenaga honorer pada Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) di Jakarta 1969-1975, *Diperbantukan pada Rektor Universitas Indonesia untuk persiapan Perpustakaan Pusat UI 1970, *Wartawan Pendam V Jaya 1970, Perwakilan Pengadaan Publikasi Indonesia untuk Perpustakaan Universitas-Universitas Malaysia: UM, UKM, USM, UPM dan UTM 1970-1976, *Mengundurkan diri dari Pegawai Negeri 1975, *Pustakawan KITLV 1975-1995, *Pengajar Luar Biasa Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1976-1977, *Meneliti biografi dan karya Sati Nasution gelar Sutan Iskandar (Pidoli Lombang Maret 1840 – Amsterdam 8 Mei 1876) yang lebih terkenal dengan nama Willem Iskander, penyair dan pelopor pendidikan guru Indonesia yang mendirikan Kweekschool voor Inlandsch Onderwijzers di Mandailing tahun 1862. *Penelitian arsip tentang Willem Iskander di Belanda 1975, 1981, 1985, 1989 dan Juli-Agustus 2006. *Wartawan Selecta Group 1976-1985, *Ikut mendirikan Yayasan Adam Malik 1985, kemudian *Sekretaris Yayasan Adam Malik 1985-1998, *Pembantu Redaksi Masyarakat Indonesia: Majalah Ilmu-Ilmu Sosial Indonesia diterbitkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 1986-1987, *Anggota Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia (IPI) 1992-1995, *Kepala Sekretariat Pengurus Besar IPI 1997-1998, *Nara Sumber Badan Warisan Sumatera (Sumatra Heritage Trust ) sejak Oktober 1998 – sekarang, *Anggota Dewan Kelurahan Jati, Jakarta Timur 2001-2006. *Meneliti biografi dan karya Willem Iskander (1840-1876) di Negeri Belanda tahun 1975, 1981, 1985, 1989 dan Juli-Agustus 2006. *Menulis di berbagai media massa, buku, dan makalah tentang Willem Iskander dan masalah sosial budaya Tapanuli Selatan dan Mandailing-Natal, antara lain makalah berjudul The Political Trends of South Tapanuli and its Reflections in the General Elections 1955, 1971 and 1977 disampaikan pada International Interdisciplinary Symposium on Cultures and Societies of North Sumatra di Universität Hamburg, Jerman, November 1981, dimuat dalam buku Cultures and Societies of North Sumatra diterbitkan di Berlin oleh Dietrich Reimer Verlag tahun 1987, ISBN 3-496-00181-X. *Makalah berjudul Islam and Adat Among South Tapanuli Migrants in Three Indonesian Cities: Jakarta, Medan and Bandung disampaikan pada Tenth Annual Indonesian Studies Conference di Ohio University, Athens, USA, Agustus 1982, dimuat dalam buku Indonesian Religions in Transition diterbitkan di Tucson, Arizona, oleh The University of Arizona Press tahun 1987, ISBN 0-8165-1020-2. *Menulis Kumpulan Puisi: Perjalanan, diterbitkan oleh Penerbit Puisi Indonesia di Jakarta tahun 1984, antara lain berisi sajak berjudul New York diterjemahkan oleh John H. McGlynn yang diterbitkan dalam buku Manhattan Sonnet: Indonesian Poems, Short Stories, and Essays about New York diterbitkan di Jakarta oleh The Lontar Foundation, 2001. – ISBN 979-8083-40-7. – p. 44-45. *Sejak 1979 Asisten Prof. Dr. Bernhard Dahm penelitian tentang tradisi dan modernisasi masyarakat Tapanuli Selatan. Sudah melakukan penelitian lapangan pada tahun 1979, 1980, 1989, 1994. Anggota Tim Penyusun Buku 60 Tahun Indonesia Merdeka diterbitkan oleh Sekretariat Negara, Agustus 2006.

Web Site: http://basyral-hamidy-harahap.com

Beberapa Karya Tulis:

2006a: "Syekh Abdul Halim Hasan dan Perubahan Sosial” . – Dalam: Tafsir Al-Ahkam / oleh Syekh H. Abdul Halim Hasan Binjai. – Jakarta : Prenada Media Group, 2006. – pp. xlix – lv. – ISBN 979-3925-40-X [Peranan Ulama Mandailing di Sumatera Timur]

2006b “Ulama dan Perubahan Sosial”: makalah pada Seminar Peluncuran Tafsir Al-Ahkam [karya Syekh Abdul Halim Hasan Binjai] di Hotel Graduda Plaza Medan, 17 Juni 2006. – 12 p. - [Peranan Ulama Mandailing di Malaysia]”

2005a: Fakta dan Angka Statistik Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal 2005. – Panyabungan : Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, 2005. – xii, 88 p. - ISBN 979-99704-0-7.

2005b: Rakyat Mendaulat Taman Nasional Batang Gadis. – Panyabungan : Pemerintah Kabupaten Mandailing Natal, 2005. – xvi [16], 132 p. - ISBN 979-98376-1-8

2004a: Pemerintah Kabupaten Madina Membangun Masyarakat Yang Madani: Suatu Studi Perbandingan. – Panyabungan : Pemerintah Daerah Kabupaten Mandina, 2004. – 424, [62] p. – ISBN 979-98376-0-X

2004b: Siala Sampagul : Nilai-Nilai Luhur Budaya Masyarakat Kota Padangsidimpuan. – Padangsidimpuan : Pemerintah Kota Padangsidimpuan, 2004. – xvi, 203 p. – ISBN 979-98049-1-4

2003: Pemerintah Kota Padangsidimpuan Menghadapi Tantangan Zaman. – Padangsidimpuan : Pemerintah Kota Padangsidimpuan, 2003. – 241 p. - ISBN 979-98049-0-6

2002a: Pengantar tesis Krismus Purba Opera Batak Tilhang Serindo Pengikat Budaya Masyarakat Batak Toba di Jakarta. – Yogyakarta : Kalika Budaya, 2002. – pp. vii – xvii. – ISBN 979-9420-13-X

2002b: Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk / Willem Iskander ; pengantar dan terjemahan oleh Basyral Hamidy Harahap ; Edisi ke-3. – Jakarta : Sanggar Willem Iskander, 2002. - 109 p. – ISBN 979-8067-01-0

2001: Pengantar untuk Edisi Indonesia disertasi Lance Castles: Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatra : Tapanuli 1915-1940 / Lance Castles. – Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia. – pp. vii – xxxi. – ISBN 979-9023-65-3

2000: Resolusi Nuddin Lubis Tonggak Sejarah Demokrasi. - Jakarta : 2000. – xvii, 543 p. (Naskah siap cetak).

1998: Kejuangan Adam Malik (1917-1984). – Jakarta : Yayasan Adam Malik, 1998. – 64 p.

1997a: Mengenal Kaum Angkola-Mandailing / oleh Basyral Hamidy Harahap ; diadaptasi untuk khalayak Malaysia oleh Prof. Madya DR. H.M. Bukhari Lubis. – Kuala Lumpur : Ikatan Kebajikan Mandailing Malaysia, 1997.- 129 p.

1997b: “Orientasi Pembangunan Mandailing”. – Dalam: Derap Langkah Mandailing Natal: Sarasehan Masyarakat Mandailing di Hotel Kemang, 12 Juli 1997. – 58 p. – Jakarta : Himpunan Keluarga Mandailing (HIKMA), 1997.

1997c: Willem Iskander (1840-1876) Sebagai Pejuang Pendidikan dan Pendidik Pejuang Daerah Sumatera Utara. – Medan : Kanwil Depdikbud bekerjasama dengan Pemda Sumatera Utara, 1997. - 207 p. - (Naskah siap cetak)

1996: “Willem Iskander: Guru yang Terlempar Jauh ke Masa Depannya”. – Dalam: Nalar dan Naluri: 70 Tahun Daoed Joesoef / penyunting Kadjat Hartojo, Harry Tjan Silalahi, Hadi Soesastro. – Jakarta : CSIS, 1996. – pp.185 – 227. – ISBN 979-8026-44-6

1993: Horja: Adat Istiadat Dalihan Na Tolu. – Jakarta. – xxxiii, 598, [60] p. – ISBN 979.8847-00-X.

1987a: Islam and Adat Among South Tapanuli Migrants in Three Indonesian Cities: Jakarta, Medan and Bandung disampaikan pada Tenth Annual Indonesian Studies Conference di Ohio University, Athens, USA, Agustus 1982, dimuat dalam buku Indonesian Religions in Transition diterbitkan di Tucson, Arizona, oleh The University of Arizona Press tahun 1987. – p. 221-237, Notes p 273. - ISBN 0-8165-1020-2.

1987b: Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing / oleh Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M. Siahaan. – Jakarta : Sanggar Willem Iskander. – xvi, 344 p. – ISBN 979-8067-00-9.

1987c: The Political Trends of South Tapanuli and its Reflection in the General Elections 1955, 1971 and 1977 disampaikan pada International Interdisciplinary Symposium on Cultures and Societies of North Sumatra di Universität Hamburg, Jerman, November 1981, dimuat dalam buku Cultures and Societies of North Sumatra diterbitkan di Berlin oleh Dietrich Reimer Verlag tahun 1987. – p. 151-169. - ISBN 3-496-00181-X.

Saturday, September 16, 2006

NIAS AKAN MASUK SALAH SATU DAFTAR WARISAN BUDAYA DUNIA

Medan (SIB)

Pulau Nias akan masuk menjadi salah satu daftar warisan budaya dunia. Menuju arah tersebut tim ahli dari Unesco melakukan berbagai persiapan salah satunya mencari data untuk meneliti keadaan Nias.

Richard A Engelhardt dan Graham Brooks tim dari Unesco tersebut melakukan konsultasi dengan Balai Arkeologi Medan, Kamis (7/9) guna merumuskan langkah-langkah apa yang harus dilakukan dengan badan ini dalam jangka pendek dan jangka panjang mewujudkan Nias menjadi salah satu daftar warisan dunia.

Richard Engelhardt mengungkapkan, pada dasarnya kegiatan ini adalah untuk pengembangan pariwisata budaya yang secara spesifiknya pada Kecamatan Teluk Dalam, Nisel. Hal ini akan menciptakan lapangan kerja baru maupun mengembalikan lapangan kerja yang sudah dimiliki masyarakat itu sebelum terjadinya bencana alam.

Guna mewujudkan hal di atas, ada tiga langkah awal yang harus dilakukan yakni, memperbaiki kondisi Nias termasuk melakukan konservasi warisan-warisan budaya pasca bencana alam, mendirikan suatu museum kecil yang tempatnya menarik perhatian wisatawan, dan membangun suatu pusat informasi pariwisata di kabupaten Nisel.

Sementara itu Ketut Wiradnyana peneliti muda dari Balai Arkeologi Medan dalam kesempatan itu mengungkapkan, kegiatan awal dapat dilakukan dengan menyelenggarakan workshop dilanjutkan dengan pemetaan dan menyampaikan hasil penelitian ke masyarakat serta melaksanakan proyek di Nisel sebagai percontohan pariwisata. (MSt/u)

Sumber: Harian SIB Online, 16 September 2006

Wednesday, September 13, 2006

Lindungi Bahasa Daerah dengan Payung Hukum

[SEMARANG] Payung hukum baik berupa undang-undang maupun perda sangat penting untuk melindungi bahasa daerah dari ancaman kepunahan akibat gempuran arus globalisasi. Payung hukum itu bersifat mengikat, karena berisikan langkah-langkah kebijakan yang bersifat teknis sehingga memudahkan sosialisasi kepada masyarakat, terutama melalui pendidikan formal.

Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pedadi) Jawa Tengah, Soetadi kepada wartawan di arena konggres bahasa Jawa (KBJ) IV 2006 di Semarang, Selasa (12/9). "Dengan adanya payung hukum berupa perda, dukungan dana untuk program pelestarian dan pengembangan bahasa maupun budaya akan lebih kuat,'' tegas Soetadi yang juga ketua panitia pengarah KBJ IV.

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo menyebutkan, sebanyak 726 bahasa daerah di Indonesia terancam dengan globalisasi dan perkembangan teknologi. Karena itu, tanpa ada upaya memperbanyak kosa kata sesuai dengan perkembangan zaman dan teknologi sesuai tuntutan masyarakat penuturnya, bahasa-bahasa daerah tersebut, sulit berkembang, bahkan bisa punah.

Hal diungkapkan Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas), Bambang Sudibyo, ketika mewakili Presiden membuka Kongres Bahasa Jawa (KBJ) IV 2006, di Semarang, Jawa Tengah, Senin (11/9). Menurut Mendiknas, agar bahasa daerah tidak semakin tenggelam di tengah arus perubahan kehidupan masyarakat penuturnya, kosa katanya harus diperbanyak (Pembaruan,12/9).

Malu

Soetadi mengatakan, gempuran arus globalisasi membuat bahasa daerah menjadi terpinggirkan. Banyak anak muda yang tidak lagi mau menggunakan bahasa daerahnya, atau bahasa ibunya dalam pergaulan sehari-hari. Banyak yang malu dinilai kampungan, karena masih menggunakan bahasa ibu.

"Di Jawa, kondisi ini pun terjadi, banyak anak muda sekarang yang malu, karena takut dibilang ndeso (kampungan), karena menggunakan bahasa Jawa. Sebab, banyak anak muda yang merasa lebih keren jika bicara pakai bahasa Inggris, atau bahasa gaul, yang dicampur-campur antara bahasa Inggris, bahasa Indonesia dengan dialek khas Jakarta. Mereka merasa lebih elite dan bergengsi, dari pada pakai bahasa Jawa,'' ujarnya.

Senada dengan itu, Kepala Kantor Bahasa Pemprov Kalimantan Timur (Kaltim), Drs Pardi Suratno MHum, yang tampil sebagai salah seorang pemakalah dalam konggres tersebut bahkan berpendapat, jika kondisi bahasa Jawa saat ini, khususnya di provinsi dengan penutur terbesar, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, dalam kondisi sakit. Dinilai sakit, karena banyak anak muda yang tak lagi percaya diri menggunakan bahasa ibunya.

"Bagaimana mungkin bahasa Jawa bisa lestari, kalau para penuturnya saja mulai enggan menggunakannya,'' tukas Pardi.

Dia justru menyebut contoh yang terjadi pada komunitas masyarakat pendatang Jawa di Kaltim bersemangat melestarikan budaya dan bahasa Jawa.

Komunitas pendatang Jawa di daerah itu, kata Pardi, telah memiliki wadah Ikatan Paguyuban Keluarga Tanah Jawi (Ika Pakarti), sebuah wadah komunitas Jawa untuk melestarikan dan membina bahasa Jawa.

Di sana ada delapan radio komunitas yang khusus menyiarkan program bahasa dan budaya Jawa, serta sebuah televisi lokal, yakni Daya TV yang rutin seminggu sekali menyiarkan acara campur-sari dan kesenian wayang kulit. Bahkan organisasi ini juga merencanakan membangun lembaga kebudayaan Jawa.

Menurut Soetadi, apa yang terjadi pada masyarakat Jawa di luar Jawa, seperti di Kaltim, daerah lain atau bahkan di luar negeri seperti Suriname, yang semangat dalam melestarikan bahasa dan budaya Jawa, patut ditiru oleh komunitas Jawa yang justru hidup di Tanah Jawa.

"Semangat semacam itu memang dilandasi pengalaman nostalgia terhadap leluhur dan nenek moyang, namun justru hal semacam ini yang perlu dijaga agar semangat melestarikan bahasa dan budaya Jawa itu tidak pernah luntur,'' tegas Soetadi. [142]

Sumber: Suara Pembaruan Online, 13 September 2006

Monday, September 11, 2006

Dua Lagu dari Album Onogauko mengudara di Adelaide, Australia

Pada hari Rabu tgl 6 September 2006, stasiun radio 5EBI FM di Adelaide, Australia yang mengudara pada frekuensi 103.1 KHz, mengudarakan dua lagu Nias: Wara Hetawisa dan Lö Sa’ae ba Dödö. Pengudaraan kedua lagu ini bersamaan dengan penayangan wawancara penulis dengan Ibu Ursula Soeharto pengasuh segmen siaran berbahasa Indonesia di radio tersebut.

Mungkin faktor jarak yang cukup jauh dari Nias menjadikan momen tersebut memiliki arti khusus buat penulis.

Onogauko adalah kelompok musik Nias yang pada tahun 2001 yang lalu melahirkan album pertama (volume 1) yang konon sangat populer. Dari sampul album Onogauko, kita bisa melihat bahwa kelompok musik ini diperkuat oleh: Waty Lase, O’ö Zebua, Tian Duha dan Paskalis Z. pada vokal, sementara musik ditata oleh: Asril Dachi dan Man Harefa.

Menurut pengamatan penulis, di Nias saat ini menjamur banyak album lagu Nias yang di satu pihak melegakan: talenta musik di kalangan generasi muda Nias cukup membanggakan. Akan tetapi di pihak lain, kita juga kuatir dengan kecenderungan untuk “menyederhanakan” atau “menyesuaikan” irama dan melodi musik Nias dengan “irama” yang tersedia pada kibor (keybord). Hal ini sungguh membahayakan dan bisa mengancam potensi keindahan yang dimiliki oleh setiap lagu Nias. Para pemerhati dan musikus Nias seharusnya tertantang untuk melawan arus yang membahayakan ini.

Kita tidak mau suatu saat kelak (dan sebenanrya sudah mulai ada tanda-tanda ke arah ini ...) bahwa musik Nias diidentikkan dengan irama-irama “murahan” yang memang tersedia dengan mudahnya di setiap keyboard, andalan utama para pemusik saat ini. Terlebih, kita tidak mau “tangan jahil” penata musik, yang barangkali tidak faham betul dengan jiwa khas musik Nias, merusaknya dengan menggiringnya kepada irama-irama asing yang bukannya mengangkat derajatnya ke atas, melainkan sebaliknya: merendahkannya. Penyerapan unsur asing ke dalam musik Nias sah-sah saja, sejauh itu “memperkaya”, “mentransendensi” musik Nias.

Keberadaan album lagu pop Nias seperti Onogauko ini merupakan bukti bagi kita bahwa musik ini Nias itu indah, anggun, jenaka, serius dan juga “dalam”.

***
“Wara Hetawisa”, lagu pertama yang diudarakan itu, sebenarnya bukan lagu baru. Lagu yang dikarang oleh Yas Harefa ini sangat populer di Nias pada penghujung dekade 1960-an dan awal 1970-an. Iramanya sederhana, ceria, sementara lagunya bercerita tentang “kasih tak sampai” seorang pemuda pada kekasihnya yang sudah duluan dipinang oleh orang lain.

Anda yang memiliki kasetnya akan dengan segera melihat “kontras” antara isinya yang seharusnya “sedih” dengan iramanya yang “ceria”. “Bertentangan” ? Samasekali tidak. Inilah cara umum yang ditempuh oleh pemuda-pemudi Nias untuk menyampaikan keluh-kesahnya. Kalau Anda masih ingat maena tahun 1970an “Si Numana Zatua Föna Ba Wondrorogö” Anda juga akan melihat bagiamana pemuda - pemudi Nias yang mengarang maena itu melukiskan penderitaan dengan jenaka.

Inilah salah satu khas lagu Nias menurut pengamatan pemulis: ia terkesan jauh dari cengeng, bahkan juga ketika melukiskan kepahitan hidup sepahit apapun ! (eh)

WARA HETAWISA
Cipt: Yas Harefa

Meföna no so ba dödögu
No ara me no utötö’u
Wa no so wa’omasigu khöu
Ya’ugö ohitö dödögu

Awena urongo u’ila
Tenga ya’ita zi fasala
Haniha sa nitahigöda
La’ua wara hetawisa

Ref:
Awai khönia me lö harazaki
No oföna niha wame’e li

Terara dödögu sa’atö
He wa’ae mowöi dawa hörö
Ha niha sa nitahigöda
La’ua wara hetawisa

Saturday, August 26, 2006

Nyanyian Bagi Allah – Wawancara dengan Dr. Thomas Markus Manhart

Sementara masyarakat Nias berada di tengah berbagai bencana beruntun sejak awal 2000, perhatian terhadap Nias tak memudar. Bencana ini justru membuat Nias menjadi perhatian masyarakat dunia. Ironis memang, Nias semakin dikenal bukan karena warisan tradisi dan budayanya, atau hal-hal yang positif yang melekat padanya tetapi lebih karena letak geografisnya dalam peta dunia, posisinya sebagai salah satu titik bencana dalam “Cincin Api” (Ring of Fire).

Maka setiap kali kita mendengar hal yang positif tentang Nias, kita merasa lega. “Inkulturasi” adalah salah satu dari hal positif itu. Apakah “inkulturasi” itu ? Dalam sebuah wawancara lewat email, Dr. Thomas Markus Manhart, seorang peneliti asal Jerman, menceritakan kepada Yaahowu risetnya tentang budaya Nias dan kaitannya dengan misi Gereja Katolik di Nias. Dr. Manhart, Direktur Artyfakt, Space for Intercultural Arts, Singapura tinggal beberapa waktu di Nias untuk riset doktoralnya berjudul: A Song for Lowalangi – the Interculturation of Catholic Mission and Nias Traditional Arts with special Respect to Music. (Sebuah Nyanyian bagi Allah: Inkulturasi Misi Katolik dan Kesenian Tradisional Nias khususnya Musik).

Yaahowu (Y): Tesis doktoral anda terfokus pada karya misionaris Katolik di Pulau Nias. Mengapa Anda memilih topik ini ?

Thomas M. Manhart (TMM): Seperti dialami kebanyakan peneliti bidang Studi Asia Tenggara: kebetulan. Saya belajar musik dan teologi Katolik di Jerman dan cuti selama satu semester untuk melakukan kerja “orientasi” sosial. Dari semua anggota ordo misionaris Jerman, hanya P. Kristof dari Nias yang menawarkan kesempatan. Beliau menawarkan penempatan di Gidö untuk mengurus Asrama St. Antonio. Nias dan masyarakatnya menjadi begitu dekat di hati saya sehingga saya memutuskan untuk kembali ke Nias untuk belajar budaya Nias setelah saya menyelesaikan studi saya di Jerman. Melalui fokus pada topik akademis, saya mendapat bantuan finansial (beaiswa) yang memang saya butuhkan untuk tinggal di Nias. Karena itulah saya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa doktoral di Universitas Nasional Singapura. Ketika itu, saya tak pernah berpikir akan mendapat gelar doktor suatu hari – saya hanya ingin agar saya bisa tinggal di Nias.

Y: Istilah “penghancuran” dan “adaptasi” kultural oleh aktivitas misi muncul dalam abstrak tesis Anda. Bisakah Anda menjelaskan lebih lanjut ?

TMM: Ada kurun waktu yang berbeda dalam kaitan dengan aktivitas misi Kristiani di Nias. Para misionaris pertama sangat “keras” dalam berhadapan dengan budaya lokal dan segala hal yang menurut mereka membahayakan pesan iman yang ingin mereka sampaikan kepada masyarakat. Di tengah sikap keras ini mereka menghacurkan begitu banyak objek kesenian Nias seperti patung-patung, alat-alat ritual dan sebagainya. Sesudah periode ini ada pendekatan yang berbeda: para misionaris mencoba mempertemukan kebutuhan liturgis dan faktor-faktor budaya lokal.

Y: Bisakah Anda jelashkan pengertian “Inkulturasi” dalam Gereja Katolik ?

TMM: Inkulturasi adalah istilah resmi yang digunakan dalam dokumen Konsili Vatikan II. Seperti yang saya jelaskan di depan, inkulturasi adalah gerakan ke dua arah: mengadaptasi liturgi pada kondisi-kondisi lokal dan memadukan unsur-unsur budaya lokal ke dalam liturgi. Dan barangkali ini adalah jalan yang perlu bagi pelestarian ke dua sisi.

Y: Dapatkah anda menjelaskan unsur-unsur budaya Nias mana saja yang sudah diserap dalam Gereja Kristen (Katolik). Apa makna “infusi” bagi budaya Nias dan Gereja Katolik ?

TMM: Banyak lagu-lagu Nias, sekurang-kurangnya melodinya, sudah digunakan dalam acara-acara kebaktian Gereja Katolik, dimuat dalam buku nyanyian “Laudate” dan sebagian kecil dalam “Madah Bakti”. Ini membawa masyarakat Nias lebih dekat dengan apa yang terjadi dalam kebaktian-kebaktian Gereja, dan semakin mendekatkan pesan Gereja kepada masyarakat. Seandainya saja musik liturgi Katolik masih berbasis Gregorian, barangkali Gereja Katolik masih tetap menjadi hal yang asing di banyak daerah, suatu agama yang melekat pada satu akar budaya. Kemampuan menyampaikan pesan melalui “pakaian” budaya yang berbeda mempermudah penerimaannya di masyarakat yang berbeda-beda di seluruh dunia.

Y: Secara singkat, apa temuan-temuan utama riset Anda tentang Nias dalam kaitannya dengan misi Gereja Katolik ?

TMM: Nias menunjukkan aktivitas inkulturasi tertinggi dibandingkan dengan daerah-daerah lain di dunia. Hal ini terutama berkat usaha-usaha individual seperti P. Johannes Hammerle dan P. Hadrian Hess. Ada bahaya, bahwa proses inkulturasi ini menjurus kepada “pemalsuan” budaya. Hanya orang yang sungguh-sungguh mengetahui secara mendalam budaya setempat yang sepatutnya melakukan kreasi-kreasi interkultural pada tingkat setinggi itu. Ada banyak konflik yang timbul; misalnya dari karya Pusat Musk Liturgi – Yogyakarta yang dengan niat baik melakukan usaha-usaha interkultural untuk seluruh Indonesia. Di Nias, melalui usaha-usaha misionaris tadi secara individual – yang secara tak sengaja menjadi antroplogis dan etnologis – Gereja sekarang bahkan bisa berkontribusi untuk pelestarian budaya Nias. Akan tetapi dibutuhkan ahli lokal dari masyarakat Nias sendiri untuk mengawasi usaha-usaha dan program-program yang dilakukan dengan niat baik itu.

Y: Anda tinggal beberapa waktu di Nias mengoleksi data untuk riset Anda. Data macam apakah yang Anda himpun dan siapa saja sumbernya ?

TMM: Saya tinggal di Nias sekitar setahun untuk mewawancarai narasumber asli orang Nias dari berbagai kampung, para misionaris, orang Kristen dan bukan Kristen, para musisi Nias. Akan tetapi sebagian besar waktu saya gunakan utnuk merekam musik dan tari-tarian, sebagian dalam acara-acara adat, sebagian lagi pada even-even wisata dan di dalam gereja.

Y: Dapatkah Anda melukiskan pengalaman Anda selam di Nias

TMM: Pengalaman saya di Nias adalah pengembaraan yang sangat mengesankan dan membuahkan hasil. Kehangatan dan sikap bersahabat masyarakat Nias membuat saya kembali dan kembali lagi.Tentu kunjungan riset lapangan itu bukan hal yang mudah, di tengah keterbatasan transportasi, bahasa dan sebagainya. Tetapi bantuan selalu saja datang; inilah hal yang mengesankan yang saya alami bukan hanya di Nias tetapi juga di daerah-daerah lain di Indonesia. Dunia boleh belajar dari Nias dan Indonesia umumnya mengenai hal ini.

Y: Terima kasih atas waktu yang Anda berikan.

Friday, July 28, 2006

A Song for Lowalangi – An Interview with Dr. Thomas Markus Manhart

Introduction

Whilst Nias Island and its people are still in the midst of disaster shocks since early 2000, the “attention” to Nias have not faded. Recent disasters (flood and landslides, tsunami and March earthquakes) in fact have brought Nias to the “attention” of global community. It is an irony, sadly to say, that Nias has become “well known” in recent years not because of its invaluable tradition and cultural heritage or any other “positive things” attributed to Nias, but more due to the its unfortunate geographical place in the world map, its position as one of the disaster spots in the “Ring of Fire”.

It is therefore always comforting to hear any thing associated with the positive attributes to Nias. One of such things is “inculturation”. What is “inculturation” ? In an email interview, Dr. Thomas Markus Manhart, a German researcher, told Yaahowu about his research on Nias culture and its connection to Catholic Mission in Nias. Dr. Manhart, the Director of Artyfakt, Space for Intercultural Arts, Singapore, spent some time in Nias for his PhD research: A Song for Lowalangi – the Interculturation of Catholic Mission and Nias Traditional Arts with special Respect to Music.

Yaahowu (Y): Your PhD. thesis relates to (or focuses on) the work of Catholic missionaries in Nias Island. What drove you to pursue this topic ?
Thomas M. Manhart (TMM): Like for many Southeast Asia studies researchers: coincidence. I studied music and Catholic Theology in Germany and took one semester off to pursue a social internship. Of all German missionary order members, only Pastor Kristof from Nias answered positively saying, they can use someone here in Gidö to take care of the Kinderdorf St. Antonio. Nias and the people of Nias became so dear to me, that I decided to return after my degree in Germany for further learning of Nias culture. To focus on such an academic topic was mainly because I needed any financial support to stay in Nias, thus I registered for my PhD candidature with scholarship at the National University of Singapore. That time, I never thought of really getting the PhD one day, I just wanted to be in Nias.

Y: The term cultural “destruction” and “adaptation” by mission activity appeared in the abstract of your thesis. Could you elaborate further ?
TMM: There were different periods of missionary activities in Nias. The early missionaries had a very strict way of dealing with local culture and anything that could endanger (in their eyes) the message of the believe they wanted to bring to the people. Amidst this, they destroyed many objects of Nias arts, such as sculptures, ritual tools, instruments etc. Openly in a later effort of an approach to local cultures, missionaries try to bring their liturgical needs and requirements and local cultural factors closer to each other – in both ways.

Y: Can you explain the term “inculturation” in the Catholic Church ?
TMM: Following the previous answer: so I created a new term. Inculturation is the official term used in the Vatican II documents. But as I explained in answer 2, it is a movement in both directions: adapting liturgy to local circumstances, and integrating local cultural elements into liturgy. And this is probably the necessary way for those who want to preserve both sides.

Y: Can you tell us which of the elements of Nias culture have been “absorbed” in the Christian (Catholic) Church ? What does this (infusion) mean for Nias culture and the (Catholic) Church ?
TMM: Many Nias songs, at least their melodies, have been used for songs in Catholic services; more in the book “Laudate” then in the Indonesian widely spread book “Madah Bakti”. It would bring the Nias people closer to what is happening at all in a Catholic service, and bring the message of the Church closer to the people. Would all Catholic music only consist of Gregorian chants, it might have stayed in many areas merely as “a foreign thing”, a religion fixed to one culture. The ability to convey the message in different cultural clothes makes its reception more possible and easier for people in different areas of the world.

Y: In brief, what are the main findings on your research on Nias culture in relation to Christian mission activities ?
TMM: Nias shows one of the highest activities of inculturation compared to many areas of the world. But this is mainly due to the efforts of individuals like Fr. Johannes Hammerle or Fr. Hadrian Hess. There is a danger, and that is cultural indifference or falsification. Only people with a strong cultural knowledge of an area should really be the ones conducting intercultural creations on such a high level. Many conflicts arise; for example out of the work of the Pusat Musik Liturgi - Yogyakarta, who try with good intention to do intercultural work for the entire Indonesian country. In Nias, with the efforts of these individual missionaries, who have advanced to antropologists and ethnologists, the Church can now even contribute to a certain extend to conservation programme of Nias culture. It would need neutral local Niassan experts, however, to supervise the correctness of such programmes and efforts.

Y: You spent some time in Nias collecting data for your research. What sorts of data you gathered and who were your resource persons ?
TMM: All in all I spent around one year in Nias conducting interviews with Niassans from different villages, with missionaries, Christians and non-Christians, musicians; but most of the time I spent recording music and dances, partly at celebrations, partly at touristic events (for a critical view on offers for tourists), and in churches.

Y: Could you describe your experience living in Nias ?
TMM: My experience living in Nias was adventurous, exciting and most rewarding. The warmth and friendliness of the people was what made me come back again and again. Such a research fieldtrip is for sure not an easy task with all the odds of transport, language etc. But there is never a lack of helping hands; this is the case for all areas of Indonesia where I have been. Something the world can learn from Indonesia and from Nias.

Thank you for your time. Yaahowu.